Fai GTR

Sabtu, 04 Juli 2015

JHT, BPJS Ketenagakerjaan, & Jokowi



Sumber foto

Entah kenapa saya tertarik dengan berita sehari lalu mengenai JHT (Jaminan Hari Tua) BPJS Ketenagakerjaan dimana pemberitaan ini menimbulkan sesuatu yang kelihatannya meresahkan masyarakat, dalam hal ini pekerja. Entah tiba-tiba atau memang sudah di plan-kan sejak lama oleh pemerintah untuk menampilkan aturan ini di masyarakat umum. Aturan bahwa pembayaran manfaat JHT dapat diberikan sebagian sampai batas tertentu setelah kepesertaan mencapai minimal 10 tahun. Pengaturan lebih lanjut tertuang dalam PP JHT yang baru hanya menjabarkan kata "sebagian" yaitu dana bisa diambil 30 persen untuk uang perumahan dan 10 persen untuk lainnya. Banyak dari masyarakat langsung heboh dan menyalahkan pemerintah, entah itu setelah masyarakat membaca berita yang dibuat oleh media atau karena masyrakat memahami undang-undang terkait.
Tak lepas dari ini, presiden pun disalahkan karena tidak berpihak pada rakyat. Bahkan ada berita di sebuah media yang mengatakan bahwa ada pihak yang curiga presiden tidak membaca sebelum mengesahkan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2015 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo terkait BPJS Ketenagakerjaan (saya ndak tahu detail apa yang dimasalahkan oleh pihak tersebut dalam PP No. 46 Tahun 2015 ini).

Saya jadi tertarik untuk mencoba melihat sedikit tentang Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2015 yang ditandangani presiden Jokowi kalo tidak salah pada 22 April 2015. Di Perpres ini yang saya lihat menjelaskan tentang “Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementrian Sosial”. Di dalam susunan organisasi Kementrian Sosial, terdapat beberapa sub-organisasi salah satunya Direktorat Jendral Perlindungan dan Jaminan Sosial yang mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang perlindungan dan jaminan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada pasal 10 Perpres No. 46 tahun 2015, dijelaskan mengenai pelaksanaan tugas Direktorat Jendral Perlindungan dan Jaminan Sosial. Dari beberapa subjek yang menjadi sasaran Direktorat Jendral Perlindungan dan Jaminan Sosial ada subjek lanjut usia terlantar. Jika saya lihat, pekerja sepertinya masuk ke kategori ini. Kenapa? Karena JHT yang dalam hal ini dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan dibawah Direktorat Jendral Perlindungan dan Jaminan Sosial merupakan suatu simpanan untuk mengantisipasi masa tua seorang pekerja saat pekerja sudah pensiun agar tidak terlantar hidupnya setelah memasuki masa pensiun, atau saat mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia. Di Perpres No. 46 Tahun 2015 ini tidak dijelaskan lebih rinci mengenai tatacara pendaftaran hingga pengambilan uang JHT.

Saya coba mencari undang-undang yang bisa menjelaskan lebih rinci mengenai JHT dan ternyata ada di dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial nasional. Dalam pasal 13 UU No. 40 Tahun 2004 dinyatakan bahwa “Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti”. Lha terus apa hubungannya dengan kita; para pekerja? Ya jelas ada hubungannya bro, merujuk pada pasal itu kita sebagai pekerja wajib ikut dalam program jaminan sosial, salah satunya jaminan hari tua (pasal 18 UU No. 40 Tahun 2004). Nggak boleh ada excuse untuk tidak ikut program  jaminan sosial jika kita seorang pekerja yang taat aturan, yang taat aturan lho ya (saya bold biar tidak ada salah prasangka diantara kita :D). Dan saya lihat pada pasal 37 ayat 3 UU No.40 Tahun 2004 bahwa pembayaran manfaat jaminan hari tua dapat diberikan sebagian sampai batas tertentu setelah kepersertaan mencapai minimal 10 tahun. Untuk berapa besarannya saya belum menemukan rujukan yang bisa saya pakai untuk berargumen, jadi saya nggak berani stated bahwa 30% JHT boleh diambil saat membeli perumahan dan 10% boleh diambil untuk hal lain. Mungkin saja ada yang mau share terkait dengan undang-undang yang merinci hal ini, silahkan saya dengan senang hati akan sangat terbantu. Mengenai JHT, untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada pasal 35 sampai pasal 38 UU No. 40 Tahun 2004 mengenai jaminan hari tua.

Dari sini jika masyarakat langsung menyalahkan Jokowi terkait pemanfaatan dana JHT setelah masa 10 tahun, menurut saya adalah salah besar karena aturan ini sudah tertuang dalam UU No.40 Tahun 2004 yang disahkan oleh presiden Megawati. Dan Perpres yang ditandatangani Jokowi, Perpres No. 46 Tahun 2015 hanya menjelaskan mengenai Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementrian Sosial (yang dalam hal ini termasuk Direktorat Jendral Perlindungan dan Jaminan Sosial), akan tetapi tidak menjelaskan tentang pemanfaatan JHT setelah masa 10 tahun beserta besarannya. Jadi, jika yang disalahkan Jokowi terkait pemanfaatan JHT setelah masa 10 tahun beserta besarannya menurut saya hal ini sangat dzolim. Saya bukan Jokolovers, saya hanya mengungkapkan apa yang seharusnya saya ungkapkan.

*Note: Perpres (Peraturan Presiden) berbeda dengan PP (Peraturan Pemerintah)

“Orang yang bijak dalam menerima berita adalah orang yang memastikan kebenaran mengenai berita tersebut”. (Fajar IR, 2015)

Dari Abu hurairah RA, katanya Rasulullah SAW bersabda: Tahukah kamu apa yang dikatan Ghibah (gunjingan)?” Jawab para sahabat “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu”. Sabda Rasulullah SAW, “Ghibah, yaitu mempercakapkan saudaramu tentang hal yang tidak disukainya”. Ditanya orang beliau, “Bagaimana kalo yang kami percakapkan itu memang benar?”. Jawab beliau, “Jika yang kamu ucapkan ternyata benar, berarti engkau telah menggunjing. Dan jika tidak benar, berarti engkau melakukan suatu kebohongan tentang dirinya” (HR. Muslim)

3 komentar:

  1. Terima kasih atas tulisan kritisnya tapi boleh saya kritisi juga
    yang anda bahas dalam tulisan anda adalah PP (peraturan Presiden ) 46/ 2015 tentang kemensos (coba anda baca KOP PP referinsi anda disitu ditulis Peraturan Presiden)
    jadi bukan PP (PERATURAN PEMERINTAH) tentang jaminan hari tua yg lagi diributkan sekarang. trima kasih terdapat perbedaan antara Peraturan Presiden dg Peraturan Pemerintah

    BalasHapus
  2. Terimakasih atas masukannya mas Endi. Betul di berbagai media menyebutkan sebagai PP, seharusnya yang disebut haruslah Perpres. Alhamdulillah paling tidak kita sudah mencoba untuk tabayyun dan tidak semakin memperkeruh suasana serta tidak dzolim pada orang lain.

    BalasHapus
  3. Oiya, alhamdulillah sudah saya revisi. :)

    BalasHapus